Siapa Wanita Itu?

Hari ini aku sudah mengurus administrasi kampus hingga siang hari. Banyak perlengkapan yang harus aku siapkan sebelum perkuliahan dimulai dua hari lagi. Sekarang aku sedang duduk manis di dalam mobil sedan merah milik Sasa. Teman baruku ini ingin mengantarku mencari tempat kost di dekat kampus. "Sa, bener nih nggak ngerepotin kamu?" tanyaku. "Enggak kok, kebetulan aku nggak kemana-mana hari ini," kata Sasa. Wah, baik sekali dia, pikirku dalam hati. Selama perjalanan kami berbincang tentang keluarga, teman semasa SMA, dan juga soal cowok. Darisitu aku tahu bahwa Sasa sudah pernah 7 kali pacaran, dan yang terakhir putus karena pacarnya terpikat oleh tante girang. Hmmm sepertinya apa saja bisa terjadi di Jakarta, pikirku. Sasa adalah anak tunggal di keluarganya. Ia tipikal gadis manja yang periang. Baru sebentar berkenalan dengannya, aku sudah merasa ia akan menjadi teman yang baik.

Akhirnya kami tiba di salah satu deretan rumah kost, yang letaknya tidak jauh dari kampus. Sasa membuka pintu dan menyambar tasnya dari bangku belakang. "Tam, kayaknya disini masih ada yang kosong deh," kata Sasa menunjuk papan di depan rumah yang bertuliskan 'Ada Kamar Kosong'. Aku mengikuti Sasa masuk ke halaman rumah itu. Rumah yang tidak terlalu besar, bertingkat dua, bersih dan terawat. Kami disambut oleh seorang ibu muda di depan pintu dan langsung mempersilahkan kami masuk. Sasa memperkenalkan diri kami ke Bu Mimin, yang ternyata pemilik kost itu, dan banyak bertanya mengenai kamar kost disitu. Fasilitasnya, harganya, dan hal lain. Aku tidak begitu mengerti mengenai hal ini, untung saja aku bertemu dengan Sasa. "Oke Tam, kamu disini aja. Masih ada satu kamar yang kosong. Hari ini kamu udah bisa pindah," kata Sasa meyakinkanku. Aku mengangguk setuju. Kemudian kami diantar untuk melihat kamarnya yang berada di lantai dua. Bu Mimin membuka pintu cokelat di hadapan kami, dan menyalakan lampunya. Kamarnya cukup luas untuk aku seorang diri. Kamar mandi berada tepat di depan kamarku. Setelah selesai melihat kamar dan mengurus pembayaran, aku dan Sasa pamit untuk mengambil barang-barangku yang masih ada di kost-an Santi. Begitu kami melangkah keluar pintu, aku tertegun melihat seorang wanita berbaju merah yang sedang berdiri menatapku dari depan pagar. Ia terlihat seperti seseorang yang aku kenal. Aku berusaha untuk mengingat-ingat wajahnya, sampai Sasa membuyarkan lamunanku dan menyuruhku untuk masuk kedalam mobil.

Kepala Ayam atau Ekor Gajah


Ku tekan tombol bel rumahnya tiga kali, bunyinya seperti suara telephon jaman dahulu, berisik membuat telinga ku pengang, apa lagi yang punya rumah yah? Pasti mereka juga terganggu. Beberapa saat berselang seorang wanita tua keluar dari pintu garasi dan bertanya “cari siapa dek?” tanyanya dengan suara halus, akupun menjawab “Tom-nya ada bu? Saya jamil teman kuliahnya bu…” dan wanita tua itu pun menjawab…”Ow adek temannya den Tommy, ayo masuk silahkan tunggu di teras saja dulu, tunggu saja sebentar lagi bia pulang!”. Beliau pun masuk kembali ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian keluar sambil membawa secangkir teh manis, “ diminum dahulu airnya dek!”. Karena haus akupun tidak ragu-ragu untuk mulai menenggak the yang ada dicangkir itu sampai kudengar seseorang membunyikan klakson motornya di depan pagar rumah.

Dia memarkirkan motornya di pojok garasi dan membuka helmnya. Sejenak aku hampir tidak mengenali orang yang ada di depanku, ternyata itu Tom. Dandanannya lebih rapih dengan kemeja dengan celana bahan dan yang lebih drastis adalah potongan rambutnya yang sekarang pendek. Berbeda dengan jaman kuliah dulu yang panjang hingga sebahu dengan kaos oblong dan celana jeans robek-robel. Awalnya dia tidak mengenaliku juga sampai dia memakai kacamatanya, dan suasananya pun melebur menjadi sebuah reuni kecil antara dua sahabat yang hampir 3 tahun tidak pernah bertemu. Kemudian dia membawaku ke dalam rumah dan kami pun bercengkrama di ruang tamu. Wanita tua itupun datang lagi spontan tom mencium tangannya, ternyata itu ibunya. Akupun serentak memberikan salam lagi. “Jadi ini sahabatmu waktu kuliah nak?” Tanya ibunya,”bu kalo ngga ada dia aku kayanya ngga akan lulus-lulus bu” jawab tom sambil tertawa lebar. Kamipun melepas tawa sejenak dan meneruskan percakapan di ruang tamu.


Aku disuguhi makan malam di sana, rasanya sudah lama sekali aku tidak duduk di meja makan dan bercakap-cakap dengan keluarga mengenai kegiatan yang dilakukan hari ini. Makanan rumah memang membuat aku rindu pada ibu. Percakapan kami pun terus berlajut hingga tengah malam, ibunya memaksaku untuk bermalam di rumahnya, disaat kamu benar-benar membutuhkan bantuan, selalu saja ada bantuan dari orang yang ada di sekitarmu membuatku bersyukur bertapa beruntungya aku. Ternyata tom sekarang bekerja di pabrik ayahnya yang sudah meninggal setahun yang lalu, “tidak pernah terfikir oleh ku, bahwa sekarang aku menggantikan posisi ayahku di sini, padahal zaman dahulu aku sangat membenci pekerjaan itu, pekerjaan yang membuat ayahku tenggelam dan hampir melupakan keluarganya…” cerita Tom sambil sedikit menghela nafas. Yah… walaupun pabriknya kecil setidaknya aku ridak bekerja pada orang lain, lebih baik jadi kepala ayam daripada menjadi ekor gajah.

Selamat Datang Kembali...


Senang bercampur sedih rasanya...aku sedih karena akhirnya aku sudah meninggalkan negeri kanguru itu..karir yang kuraih disana pupus sudah..Namun aku senang begitu sampai di jakarta, aku berjumpa kembali dengan keluargaku dan teman-temanku. Kedatanganku kali ini dijemput teman dekatku sejak masa SMP dulu, Cindy. Keluarganya sudah seperti keluargaku sendiri, begitu juga dia. "Flo, aku senang kamu akhirnya pulang ke jakarta." ucap Cindy. Cindy sudah bercerita panjang lebar tentang keluargaku, dia juga yang memberikanku semangat untuk pulang ke Jakarta. "Flo, kamu antar aku ajah ke rumahku..terus mobilnya kamu bawa ajah dulu."

Begitu selesai mengantar Cindy, kuarahkan mobil ke rumah orang tuaku. Selama kukemudikan mobil, entah kenapa pikiranku masih teringat akan kota Melbourne. Hidupku disana seperti yang aku inginkan selama ini. "Hey! Brak!!!" tiba-tiba mobilku dipukul seorang pemuda yang melintas di depanku. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Aku tahu sebenarnya aku yang salah, aku melamun di persimpangan Pondok Indah sehingga aku nyaris menabrak pemuda itu.

Tiba sudah aku di rumahku, namun rumah ini tampak seperti tidak terawat. "Mama...!" sahutku Mama berubah, mama jauh lebih kurus dari 1 tahun yang lalu. "Flo, kenapa kamu gak bilang kalau kamu pulang hari ini?"ucap mama. Aku memang tidak memberi kabar ke keluargaku atas kepulangan aku. Aku tidak mau merepotkan keluargaku. Mama tampak senang sekali aku pulang, namun wajahnya berubah begitu aku menanyakan papa. "Papa ada di rumah sakit, flo."

Segera aku bersama mama ke rumah sakit yang tidak jauh dari rumah tinggalku. Aku ingin sekali melihat keadaan papa. Aku terkejut begitu melihat keadaan papa. Papa baru terkena stroke ringan minggu lalu. "Papa senang kamu pulang, flo."ucap Papa. Raut muka papa terlihat senang begitu aku hadir disini.

Haruskah Aku Berubah?


Hari pertama menjejakkan kaki di kampus baruku, rasanya tak percaya aku bisa sampai disini. Kampus ini memilik lahan yang begitu luasnya, bahkan jauh lebih luas dari lahan sawah milik Pak Joyo, pengusaha kaya di kampungku. Rony yang mengantarku sampai di depan pintu gerbang kampus, dan sekarang ia sudah melaju dengan motor bebeknya ke kampusnya yang tak jauh dari sini. Aku menghirup nafas panjang-panjang, hingga seseorang menabrakku dari belakang. "Ups, maaf. Aku nggak sengaja," kata seorang gadis yang menabrakku. Wajahnya manis, dengan rambut panjang yang sangat indah. Ia membawa tas di bahunya, dan map di tangannya. "Iya, aku nggak apa-apa," kataku. Gadis itu menyodorkan tangannya untuk berkenalan. "Aku Sasa. Mahasiswi baru disini. Kamu siapa" tanya gadis bernama Sasa itu. "Aku Sri," jawabku.

Sasa terlihat berpikir sejenak, sebelum bertanya lagi "Kamu dari Jawa, ya?". Aku mengangguk.
Sasa mengajakku berbincang smabil berjalan ke arah ruang Administrasi. Rupanya ia dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta. Rumahnya di daerah Kebayoran Baru. "Sri, nama panjang kamu siapa? Jujur ya, aku jarang sekali mendengar nama Sri di Jakarta," kata Sasa. Aku tertawa kecil sembari mengikat rambutku menjadi ekor kuda. "Namaku Sri Utami," jawabku. "Ah, bagaimana kalau aku memanggil kamu Tammy saja?" kata Sasa bersemangat. Teman baruku ini tampaknya memiliki energi yang lebih banyak dari orang lain. Karena selama kami berbincang dan berjalan, ia selalu melompat, berteriak, tertawa, bahkan sesekali memutar kepalanya saat bercerita. Aku memikirkan kata-kata Sasa barusan. Haruskah aku berubah di kota baru ini? Bahkan untuk mengubah nama panggilanku?

Buta Arah, Buta Waktu dan Buta Tujuan...


Aku berhenti sejenak untuk mengumpulkan nyawa kembali, dengan kedua tanganku menopang pada pagar jembatan, aku mulai mencoba menarik nafas, ternyata udara disini tidak seperti di rumah. Debu, pasir dan kotoran berkumpul jadi satu, rasanya seperti karat besi. Mataku tertutup tapi entah kenapa dunia seperti sedang berputar, dan setiap kali aku mencoba membuka mata, rasanya seperti mau jatuh dari jembatan. Tak lama kemudian tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahu kananku dari belakang. Sedikit kaget, aku mencoba untuk melihat ke belakang, ternyata seorang bapak-bapak berseragam pegawai negeri yang sedang lewat melihatku hampir jatuh lemas ke pahar jembatan penyebrangan. Dia bertanya tentang keadaanku, mungkin dipikiranya aku mau loncat dari jembatan. Dengan nada bercanda dia berkata padaku,” Saya kira ade mau loncat dari jembatan, kan lagi musim tuh terjun bebas dari atas gedung.” Tuturnya sambil menunjuk pada bangunan Blok M Plaza. Akupun tak kuasa ikut tertawa mendengar leluconnya. Kami akhirnya turun dari jembatan dan dia menawarkan untuk mampir ke tempat istrinya berjualan bubur, awalnya aku sedikit curiga apa aku akan ditipu atau apapun yang buruk-buruk ternyata niat Pak Yatmo dan istri benar-benar tulus. Memberikanku satu mangkok bubur ayam, segelas teh tawar, obat sakit kepala dan arah tempat alamat rumah temanku Tom berada. Aku masih tidak menyangka ternyata masih ada orang yang baik hati di tempat seperti ini. Setelah bercakap-cakap beberapa saat akupun mulai meneruskan perjalananku mencari alamat rumah itu.

Aku benar-benar tidak tahu harus naik apa menuju kesana, buta arah, buta waktu dan buta tujuan. Setelah mengikuti nasehat Pak Yatmo untuk naik kopaja kearah selatan dan berhenti beberapa blok dari sana, aku pun meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Tidak terasa matahari sudah mulai turun, andai saja aku tidak membuang hanphoneku ke luar jendela waktu di kereta, semua masalah akan cepat terselesaikan dan mungkin aku sudah sampai di rumahnya dari tadi siang. Ya, benar aku sudah hilang komunikasi dengan orangtua dan keluarga besarku, tapi apa yang bisa aku harapkan lagi, aku sudah mati bagi mereka. Aku sudah muak menjadi kambing hitam bagi mereka, anak yang tidak pernah membanggakan keluarga, anak yang selalu dianggap memberikan masalah dalam rumah padahal yang aku lakukan hanyalah berusaha untuk membuat mereka selalu bahagia. Akan tetapi di mata mereka semua itu hanyalah omong kosong. Capek… rasanya seperti berenang tanpa bisa sampai ke tepian, sampai kaupun lelah…tidak ada tenaga lagi untuk mengayuh badanmu dan mulai tenggelam terlahan, dalam dan lebih dalam lagi sampai kau tidak bisa melihat permukaan airnya lagi. Memikirkan kejadian silam selalu membuat nafasku terasa sesak, andai saja semua ini bisa berlalu seperti kita membalikan telapak tangan.

Malas bertanya, sesat di jalan… tapi yang terjadi dengan ku malah sama saja. Aku banyak bertanya dengan orang-orang sekitar tidak membuatku sampai pada tujuan. Bertanya malah membuatku makin tersesat, yang satu menyuruhku untuk berjalan ke arah ini dan yang satu lagi menyuruhku balik ke arah yang berlawanan. Cukup bertanya pada orang-orang, akupun akhirnya hanya mengandalkan insting dan naluriku dalam mencari tempat itu. Mengikuti petunjuk jalan adalah cara yang terbaik, nampaknya aku sudah mulai dekat dengan tempat yang kucari. Rumahnya sepertinya ada di sebrang jalan ini, akupun menoleh kekanan dan kekiri memastikan tidak ada mobil yang lewat. Menyebrang dengan pandangan lurus kedepan dan tiba-tiba dari arah kanan ada mobil hitam yang melaju dengan kencang dan hampir menerempetku. Karena kaget aku menepuk kap mobil itu, ternyata pada saat kaca jendelanya turun yang menyetir mobil itu seorang wanita cantik berkacamata hitam. Emosiku pun meluap karena tanpa meminta maaf dia melaju kembali dengan kencang. Dalam sehari dua kali aku mengalami kejadian sial. Tanpa aku sadari ternyata rumah Tom ada di depanku, ku tekan tombol bel yang ada dipagar. Apakah dia ada di rumah?

Haruskah Ku Kembali?...


Mendadak kuterbangun dari tidurku...jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Segera ku lari mempersiapkan diriku untuk berangkat ke pemotretan. Yak..pemotretan kali ini aku terlambat lagi..pemotretan yang seharusnya dilakukan pukul 9 pagi tadi dan sekarang aku masih di apartmentku.

Begitu tiba di lokasi, semua mata memandangku. Memang ini kesalahanku..akibat pergaulan semalam aku lupa waktu, lupa semuanya. Begitu selesai pemotretan, agency tempat selama ini aku terikat kontrak kerja memanggilku dan mereka memberikan kesempatan terakhir padaku untuk bekerja sama dengan mereka. Ini kesalahanku untuk kesekian kalinya. "You're not professional,flo! We'll stop our agreement if you still not in discipline!"

Kumelangkah tertunduk melihat langkahku,...tampaknya tempatku bekerja selama ini mulai tidak mempercayaiku. Ini semua berasal dari kesalahanku. Kuberhenti melangkah, berdiri termenung di tepi jalan. Aku tidak seperti dulu...mobil dan barang2 kesayanganku sudah kujual..bahkan karir modellingku mulai hancur. Semua hancur berantakan dari kesalahanku..aku tidak mengikuti kemauan orangtuaku untuk kembali ke jakarta dan menikah dengan pengusaha muda yang akan membangkitkan kembali usaha keluargaku. Haruskah aku pulang?

Awal Pertemuan Dengan Rony...


Kurang dari setengah jam, kami sudah tiba di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, dengan dinding berwarna cokelat muda. Kami melewati pagar besi yang sudah karatan dan tidak tertutup rapat. Rupanya kost-an Santi ini terdiri dari satu rumah induk yang sepertinya dihuni oleh pemilik kost, dan dibelakangnya ada bangunan kecil yang terdiri dari empat pintu. Santi mengajakku berjalan menuju kamarnya di belakang rumah induk sembari mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Aku memerhatikan sekeliling rumah tua yang tidak terawat ini. Pasti pemiliknya adalah sepasang suami istri yang sudah tua, yang hidup hanya mengandalkan uang sewa kost karena anak mereka yang tinggal diluar kota tidak pernah mengirimi mereka uang, pikirku dalam hati. Aku tersenyum kecil memikirkannya.

Santi membuka pintu kamarnya yang berwarna putih kusam, ia melepas sepatunya sebelum masuk kedalam kamar. Aku mengikutinya masuk, dan langsung tercium olehku aroma minyak wangi murahan yang digunakan Santi sebelum pergi. Rupanya ia menggunakan minyak wangi di sekujur tubuhnya hingga aromanya masih melekat didalam kamar. "Nanti malam kamu tidur di kasur saja Sri, biar aku yang tidur di tikar," Santi menawarkan. Aku merasa tidak enak dan langsung mengambil tikar dan kugelar di bawah kasur. "Tidak San, aku biasa tidur di tikar. Kamu tahu kan adikku Atik tidak pernah mau tidur di lantai, jadi aku yang selalu mengalah," kataku. Santi tertawa kecil sambil menyerahkan handuk padaku. "Kalau mau mandi, kamar mandinya disebelah ya Sri. Aku mau ke warung di depan jalan dulu, mau ketemu sama Rudi pacarku," kata Santi malu-malu. Aku mengambil handuk hijau yang disodorkan Santi. Aku tidak tahu kalau Santi sudah punya pacar.

Setelah mengikat rambutnya, ia lantas pergi keluar kamar dan meninggalkanku sendirian. Aku membuka tas dan menyiapkan semua keperluanku untuk dibawa ke kampus besok pagi. Aku tidak mau ada yang tertinggal. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera menginjakkan kakiku di kampus dan kuliah bersama teman-teman baru. Aku mengeluarkan map merah berisi ijasah SMA ku. Tiba-tiba seorang pria muncul di depan pintu kamar Santi yang tidak tertutup. "Maaf Mbak ini siapa ya?" tanya pria itu sopan. Aku melangkah ke pintu dan mengulurkan tangan, "Aku Sri, sepupunya Santi". Pria itu balas mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya bernama Rony. Ia adalah anak pemilik kost ini. Rupanya perkiraanku salah. Kami mengobrol beberapa lama, dari situ aku tahu bahwa ia masih kuliah semester tiga dan kampusnya tidak terlalu jauh dari kampusku. Itulah awal pertemuanku dengan Rony.