Haruskah Aku Berubah?


Hari pertama menjejakkan kaki di kampus baruku, rasanya tak percaya aku bisa sampai disini. Kampus ini memilik lahan yang begitu luasnya, bahkan jauh lebih luas dari lahan sawah milik Pak Joyo, pengusaha kaya di kampungku. Rony yang mengantarku sampai di depan pintu gerbang kampus, dan sekarang ia sudah melaju dengan motor bebeknya ke kampusnya yang tak jauh dari sini. Aku menghirup nafas panjang-panjang, hingga seseorang menabrakku dari belakang. "Ups, maaf. Aku nggak sengaja," kata seorang gadis yang menabrakku. Wajahnya manis, dengan rambut panjang yang sangat indah. Ia membawa tas di bahunya, dan map di tangannya. "Iya, aku nggak apa-apa," kataku. Gadis itu menyodorkan tangannya untuk berkenalan. "Aku Sasa. Mahasiswi baru disini. Kamu siapa" tanya gadis bernama Sasa itu. "Aku Sri," jawabku.

Sasa terlihat berpikir sejenak, sebelum bertanya lagi "Kamu dari Jawa, ya?". Aku mengangguk.
Sasa mengajakku berbincang smabil berjalan ke arah ruang Administrasi. Rupanya ia dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta. Rumahnya di daerah Kebayoran Baru. "Sri, nama panjang kamu siapa? Jujur ya, aku jarang sekali mendengar nama Sri di Jakarta," kata Sasa. Aku tertawa kecil sembari mengikat rambutku menjadi ekor kuda. "Namaku Sri Utami," jawabku. "Ah, bagaimana kalau aku memanggil kamu Tammy saja?" kata Sasa bersemangat. Teman baruku ini tampaknya memiliki energi yang lebih banyak dari orang lain. Karena selama kami berbincang dan berjalan, ia selalu melompat, berteriak, tertawa, bahkan sesekali memutar kepalanya saat bercerita. Aku memikirkan kata-kata Sasa barusan. Haruskah aku berubah di kota baru ini? Bahkan untuk mengubah nama panggilanku?

Buta Arah, Buta Waktu dan Buta Tujuan...


Aku berhenti sejenak untuk mengumpulkan nyawa kembali, dengan kedua tanganku menopang pada pagar jembatan, aku mulai mencoba menarik nafas, ternyata udara disini tidak seperti di rumah. Debu, pasir dan kotoran berkumpul jadi satu, rasanya seperti karat besi. Mataku tertutup tapi entah kenapa dunia seperti sedang berputar, dan setiap kali aku mencoba membuka mata, rasanya seperti mau jatuh dari jembatan. Tak lama kemudian tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahu kananku dari belakang. Sedikit kaget, aku mencoba untuk melihat ke belakang, ternyata seorang bapak-bapak berseragam pegawai negeri yang sedang lewat melihatku hampir jatuh lemas ke pahar jembatan penyebrangan. Dia bertanya tentang keadaanku, mungkin dipikiranya aku mau loncat dari jembatan. Dengan nada bercanda dia berkata padaku,” Saya kira ade mau loncat dari jembatan, kan lagi musim tuh terjun bebas dari atas gedung.” Tuturnya sambil menunjuk pada bangunan Blok M Plaza. Akupun tak kuasa ikut tertawa mendengar leluconnya. Kami akhirnya turun dari jembatan dan dia menawarkan untuk mampir ke tempat istrinya berjualan bubur, awalnya aku sedikit curiga apa aku akan ditipu atau apapun yang buruk-buruk ternyata niat Pak Yatmo dan istri benar-benar tulus. Memberikanku satu mangkok bubur ayam, segelas teh tawar, obat sakit kepala dan arah tempat alamat rumah temanku Tom berada. Aku masih tidak menyangka ternyata masih ada orang yang baik hati di tempat seperti ini. Setelah bercakap-cakap beberapa saat akupun mulai meneruskan perjalananku mencari alamat rumah itu.

Aku benar-benar tidak tahu harus naik apa menuju kesana, buta arah, buta waktu dan buta tujuan. Setelah mengikuti nasehat Pak Yatmo untuk naik kopaja kearah selatan dan berhenti beberapa blok dari sana, aku pun meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Tidak terasa matahari sudah mulai turun, andai saja aku tidak membuang hanphoneku ke luar jendela waktu di kereta, semua masalah akan cepat terselesaikan dan mungkin aku sudah sampai di rumahnya dari tadi siang. Ya, benar aku sudah hilang komunikasi dengan orangtua dan keluarga besarku, tapi apa yang bisa aku harapkan lagi, aku sudah mati bagi mereka. Aku sudah muak menjadi kambing hitam bagi mereka, anak yang tidak pernah membanggakan keluarga, anak yang selalu dianggap memberikan masalah dalam rumah padahal yang aku lakukan hanyalah berusaha untuk membuat mereka selalu bahagia. Akan tetapi di mata mereka semua itu hanyalah omong kosong. Capek… rasanya seperti berenang tanpa bisa sampai ke tepian, sampai kaupun lelah…tidak ada tenaga lagi untuk mengayuh badanmu dan mulai tenggelam terlahan, dalam dan lebih dalam lagi sampai kau tidak bisa melihat permukaan airnya lagi. Memikirkan kejadian silam selalu membuat nafasku terasa sesak, andai saja semua ini bisa berlalu seperti kita membalikan telapak tangan.

Malas bertanya, sesat di jalan… tapi yang terjadi dengan ku malah sama saja. Aku banyak bertanya dengan orang-orang sekitar tidak membuatku sampai pada tujuan. Bertanya malah membuatku makin tersesat, yang satu menyuruhku untuk berjalan ke arah ini dan yang satu lagi menyuruhku balik ke arah yang berlawanan. Cukup bertanya pada orang-orang, akupun akhirnya hanya mengandalkan insting dan naluriku dalam mencari tempat itu. Mengikuti petunjuk jalan adalah cara yang terbaik, nampaknya aku sudah mulai dekat dengan tempat yang kucari. Rumahnya sepertinya ada di sebrang jalan ini, akupun menoleh kekanan dan kekiri memastikan tidak ada mobil yang lewat. Menyebrang dengan pandangan lurus kedepan dan tiba-tiba dari arah kanan ada mobil hitam yang melaju dengan kencang dan hampir menerempetku. Karena kaget aku menepuk kap mobil itu, ternyata pada saat kaca jendelanya turun yang menyetir mobil itu seorang wanita cantik berkacamata hitam. Emosiku pun meluap karena tanpa meminta maaf dia melaju kembali dengan kencang. Dalam sehari dua kali aku mengalami kejadian sial. Tanpa aku sadari ternyata rumah Tom ada di depanku, ku tekan tombol bel yang ada dipagar. Apakah dia ada di rumah?

Haruskah Ku Kembali?...


Mendadak kuterbangun dari tidurku...jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Segera ku lari mempersiapkan diriku untuk berangkat ke pemotretan. Yak..pemotretan kali ini aku terlambat lagi..pemotretan yang seharusnya dilakukan pukul 9 pagi tadi dan sekarang aku masih di apartmentku.

Begitu tiba di lokasi, semua mata memandangku. Memang ini kesalahanku..akibat pergaulan semalam aku lupa waktu, lupa semuanya. Begitu selesai pemotretan, agency tempat selama ini aku terikat kontrak kerja memanggilku dan mereka memberikan kesempatan terakhir padaku untuk bekerja sama dengan mereka. Ini kesalahanku untuk kesekian kalinya. "You're not professional,flo! We'll stop our agreement if you still not in discipline!"

Kumelangkah tertunduk melihat langkahku,...tampaknya tempatku bekerja selama ini mulai tidak mempercayaiku. Ini semua berasal dari kesalahanku. Kuberhenti melangkah, berdiri termenung di tepi jalan. Aku tidak seperti dulu...mobil dan barang2 kesayanganku sudah kujual..bahkan karir modellingku mulai hancur. Semua hancur berantakan dari kesalahanku..aku tidak mengikuti kemauan orangtuaku untuk kembali ke jakarta dan menikah dengan pengusaha muda yang akan membangkitkan kembali usaha keluargaku. Haruskah aku pulang?

Awal Pertemuan Dengan Rony...


Kurang dari setengah jam, kami sudah tiba di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, dengan dinding berwarna cokelat muda. Kami melewati pagar besi yang sudah karatan dan tidak tertutup rapat. Rupanya kost-an Santi ini terdiri dari satu rumah induk yang sepertinya dihuni oleh pemilik kost, dan dibelakangnya ada bangunan kecil yang terdiri dari empat pintu. Santi mengajakku berjalan menuju kamarnya di belakang rumah induk sembari mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Aku memerhatikan sekeliling rumah tua yang tidak terawat ini. Pasti pemiliknya adalah sepasang suami istri yang sudah tua, yang hidup hanya mengandalkan uang sewa kost karena anak mereka yang tinggal diluar kota tidak pernah mengirimi mereka uang, pikirku dalam hati. Aku tersenyum kecil memikirkannya.

Santi membuka pintu kamarnya yang berwarna putih kusam, ia melepas sepatunya sebelum masuk kedalam kamar. Aku mengikutinya masuk, dan langsung tercium olehku aroma minyak wangi murahan yang digunakan Santi sebelum pergi. Rupanya ia menggunakan minyak wangi di sekujur tubuhnya hingga aromanya masih melekat didalam kamar. "Nanti malam kamu tidur di kasur saja Sri, biar aku yang tidur di tikar," Santi menawarkan. Aku merasa tidak enak dan langsung mengambil tikar dan kugelar di bawah kasur. "Tidak San, aku biasa tidur di tikar. Kamu tahu kan adikku Atik tidak pernah mau tidur di lantai, jadi aku yang selalu mengalah," kataku. Santi tertawa kecil sambil menyerahkan handuk padaku. "Kalau mau mandi, kamar mandinya disebelah ya Sri. Aku mau ke warung di depan jalan dulu, mau ketemu sama Rudi pacarku," kata Santi malu-malu. Aku mengambil handuk hijau yang disodorkan Santi. Aku tidak tahu kalau Santi sudah punya pacar.

Setelah mengikat rambutnya, ia lantas pergi keluar kamar dan meninggalkanku sendirian. Aku membuka tas dan menyiapkan semua keperluanku untuk dibawa ke kampus besok pagi. Aku tidak mau ada yang tertinggal. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera menginjakkan kakiku di kampus dan kuliah bersama teman-teman baru. Aku mengeluarkan map merah berisi ijasah SMA ku. Tiba-tiba seorang pria muncul di depan pintu kamar Santi yang tidak tertutup. "Maaf Mbak ini siapa ya?" tanya pria itu sopan. Aku melangkah ke pintu dan mengulurkan tangan, "Aku Sri, sepupunya Santi". Pria itu balas mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya bernama Rony. Ia adalah anak pemilik kost ini. Rupanya perkiraanku salah. Kami mengobrol beberapa lama, dari situ aku tahu bahwa ia masih kuliah semester tiga dan kampusnya tidak terlalu jauh dari kampusku. Itulah awal pertemuanku dengan Rony.

Berdiri Dengan Kedua Kakiku...


Berdiri dengan kedua kakiku, mencoba untuk berjalan melewati jalur rel yang kosong, menembus ratusan orang yang ada di depan. Berjalan melawan arah kucoba melihat ke depan, sesekali orang menabrak bahuku membuat tas yang aku bawa jatuh ke pergelangan tangan. Melintasi orang yang memandangku dengan aneh dan dingin, bahkan ada orang yang melihatku dari atas ke bawah seakan-akan aku adalah seorang kriminal yang siap mencuri barang bawaannya, tak heran orang melihatku seperti itu, lusuh, kusam dan mata yang sayu. Hampir tiga hari aku tidak bias tidur dengan lelap. Dengan kaos oblong kusut dan celana jins sobek, aku memang tampak seperti pencopet. Mungkin alasan kenapa dompetku masih ada di kantung celana ini karena mereka beranggapan bahwa aku salah satu dari mereka, tapi yang jelas isi dompetku hanya beberapa lembar uang ribuan lusuh dan KTP saja. Menoleh ke kanan dan kekiri seperti orang yang tersesat, kucoba untuk menutupi pandangan naifku. Ini pertama kalinya aku benar-benar datang ke Jakarta, sekalinya aku datang ke sini bersama teman dan guru adalah untuk karya wisata. Aneh memang kalau kita mengingat masa-masa sekolah dan sekarang aku harus menghadapi realita. Aku harus bias bertahan.

Kulihat bangku kosong dekat kotak tiket. Aku duduk untuk sedikit menghela nafas. Masih pagi tapi antrian tiket tetap saja panjang, melihat orang bergumal karena lamanya antrian sedikit membuatku lega, entah kenapa tapi itu membuatku berfikir, setidaknya aku sekarang tidak diburu oleh waktu. Aku tidak mau menjadi orang yang hanya duduk termenung menerima nasibnya yang tak kunjung berubah. Kubuka isi dompetku dan kuhitung uang yang ada di dalamnya, hanya cukup untuk bertahan sampai akhir minggu ini. Tak sengaja dari setumpuk lembaran bukti tanda pembayaran supermarket, terjatuh secarik kertas yang sudah lama ada dalam dompetku. Kubuka lipatan kertas tersebut, tertera nama sahabat kuliahku dan alamat rumahnya di Jakarta. Mengingat kembali masa-masa kuliah, sangat menyenangkan, dimana aku bisa berdiskusi tentang banyak hal dan bermimpi untuk bisa merubah dunia. Aku memang naïf pada saat itu, tengelam dalam idealisme dan optimisme. Namanya Tommy tapi aku selalu memanggilnya T.O.M. kami memang dekat semasa kuilah dulu, semua suka dan duka kita lalui bersama dan kami satu tim dalam berbagai kegiatan, mulai dari BEM sampai Futsal. Pada saat dia wisuda dia memberikan kertas ini padaku, “ kalo kamu main ke Jakarta jangan lupa mampir kerumahku…!”ujarnya. dia lulus lebih dulu daripadaku. Maklum aku harus cuti kuliah karena orangtuaku tidak bisa membiayai lagi pada saat itu. Rumahnya di daerah Blok M. Bangun dari bangku tempatku duduk kucoba bertanya pada petugas kereta api bagaimana cara pergi ke tempat itu dan akupu dibertahu untuk naik busway karena akan membuatku lebih mudah sampai kesana.

Kukeluarkan uang 3500 rupiah dari dalam kantung celana akupun bergegas masuk kedalam bus setelah setengah jam menunggu. Aku duduk di bangku belakang dekat pintu keluar berselang dua pemberhentian bus pun mulai penuh dan padat. Kulihat didepanku seorang ibu muda dengan seorang bayi mungil didadanya, akupun berdiri dan mempersilahnkannya untuk mengambil tempat dudukku, dia tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Dengan tangan kanan menggantung memegang tiang besi dan kepalaku bersandar pada jendela kaca, aku mulai melihat kendaraan merayap dengan perlahan. Jadi ini macet yang terkenal di ibukota. Mataku sesekali tertidur dan tidak terasa aku sudah sampai di daerah blok M plaza. Aku mulai berjalan dan menaikui jembatan penyebrangan untuk bisa menuju ke sisi yang lain. Kepalaku tertunduk kebawah melihat perutku yang terasa lapar, sambil melihat tali sepatu yang copot aku terjongkok untuk mengikat kembali tali sepatu itu. Sambil menahan lapar aku coba menggabungkan kedua tali yang terlepas tiba-tiba ada seseorang yang menyadung punggungku terasa sakit tapi aku rasa lapar membuatku hanya terdiam dan melanjutkan perjalanan tanpa menghiraukan apa yang terjadi tadi. Aku hanya melangkah dengan muka yang sedikit pucat, pandanganku mulai kabur dan perlahan-lahan pandanganku mulai gelap. Apa yang terjadi dengan kepalaku..?

Ini Bukan Jaman Siti Nurbaya...


Sore yang cerah ini kuhabiskan di victory st.,menghirup kopi sambil membaca berita keadaan di indonesia melalui internet. Tiba2 kuterdiam begitu membaca sebuah artikel ekonomi. Isi berita itu mengungkit2 nama besar keluargaku. Pikiranku untuk memilih menetap di kota ini atau kembali ke jakarta. Memang beberapa waktu lalu mamaku menyempatkan curhat tentang mulai ambruknya bisnis keluargaku. "Flo,bisnis keluarga kita mulai hancur..." Itulah kalimat yang kuingat belakangan ini.

Mama dan papa berharap aku bisa membantu mereka. Tapi aku gak bisa mengabulkannya. Bisnis papa yang mulai ambruk itu membutuhkan kucuran dana yang tidak sedikit. Namun ada seorang pengusaha muda yang bersedia membantu papa asalkan aku bersedia menjadi istrinya.

Pikiranku kacau,hidupku belakangan ini juga mulai akrab dengan minuman beralkohol dan rokok.Kedekatanku dengan dunia malam belakangan ini membuat hidupku mulai tidak dsiplin.Bangun tidur sesukaku dan itu yang membuatku lebih hancur lagi. Aku sering datang ke pemotretan tidak tepat waktu dan mukaku tampak tidak enak untuk difoto.Beberapa kali aku mendapat surat teguran dari agencyku. Uang yang kumiliki semakin hari semakin menipis, selain karena ambruknya usaha papa, uangku habis untuk kesenanganku sendiri. Hari ini, aku harus merelakan porsche merahku pindah ke tangan orang lain. Ya! Aku jual mobil pemberian papaku sewaktu pertama kali aku tiba di melbourne. Kujual mobil itu tanpa sepengetahuan keluargaku.

Selamat Datang di Jakarta...


Mataku tak berhenti menatap hiruk pikuk di jalanan kota Jakarta. Saat ini aku dan Santi tengah berada di dalam bis kota jurusan Lebak Bulus - Blok M, yang akan membawa kami ke kost-an tempat tinggal Santi di daerah Blok M. Santi yang lebih tua dua tahun dariku sudah lebih dulu mengadu nasib di Jakarta. “Gimana kabar keluarga di Solo, Sri?” tanya Santi membuyarkan lamunanku. “Baik-baik saja San,” jawabku. “Apa kamu sudah punya rencana tempat tinggal disini?” tanyanya lagi. Aku menggeleng sambil membetulkan kunciran ekor kudaku. “Aku numpang tinggal di tempat kamu satu malam saja San, besok pagi aku langsung ke kampus, mengurus semua administrasinya. Dari sana aku langsung mencari tempat kost yang dekat dengan kampus,” jawabku kemudian. Raut wajah Santi berubah, ia tidak lagi tersenyum. “Kenapa San?” tanyaku. “Kamu beruntung Sri, bisa melanjutkan kuliah sesuai dengan impianmu,” kata Santi muram. Aku memeluk pundaknya. “Tidak seberuntung itu San. Kamu tidak ingat, kejadian yang menimpaku dua tahun lalu? Itulah sebabnya kenapa aku bertekad untuk berkuliah di Jakarta, agar aku bisa jauh dari Mas Yon,” kini wajahku yang berubah muram, mengenang kejadian lalu yang sangat membekas di kepalaku. “Sri, maaf aku membuat kamu teringat lagi masa itu,” Santi merasa bersalah.


Semasa aku duduk di bangku SMA, aku sudah diharuskan untuk bekerja membantu perekonomian keluarga, karena waktu itu panen jagung kami sedang merosot. Setiap hari sepulang sekolah, aku bekerja di pabrik kertas milik seorang duda berusia 40 tahun. Dialah Mas Yon, pria yang telah membuat hidupku berubah. Sejak saat itu, aku mulai bertekad untuk pergi jauh dari kota Solo dan mulai membangkitkan impian-impianku. Aku mulai belajar giat agar bisa mendapatkan beasiswa kuliah di Jakarta. Aku juga sudah bercita-cita suatu saat nanti aku akan membawa kedua orangtuaku pindah dari desa kami, agar tidak diganggu oleh para lintah darat itu.


Tidak terasa bis kota yang aku tumpangi sudah tiba di terminal Blok M. Aku mengikuti Santi berjalan menuju tempat kost nya. Kami harus melewati jembatan penyeberangan untuk menuju kesana. Dengan menjinjing tas besar di tangan kanan aku berusaha mengimbangi langkah Santi yang cepat. Tak sengaja aku menabrak seorang pria yang sedang mengikat tali sepatunya di tengah jembatan. “Eh, maaf Mas,” kataku seraya mengambil tasku yang jatuh ketika menabraknya tadi. Pria itu hanya menatapku dengan wajah datar dan berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata. Oh, jadi begini tingkah laku orang Jakarta? Pikirku dalam hati. Tapi aku senang sudah tiba di kota ini. Selamat datang di Jakarta, Sri!

Jangan Lihat ke Belakang...


Terbangun dari tidurku karena suara rel yang bergemuruh, kubuka jendela di sebelah tempat dudukku terasa lega sekali disaat angin berhembus mengenai mukaku yang berkeringat. Siapa yang bisa bertahan dengan suasana pengap gerbong kereta yang padat duduk bersama setumpuk daun singkong dan kandang ayam. Dari kejauhan kulihat seorang ibu dengan 4 anaknya tertidur dengan pulas padahal mereka tidur di antara tumpukan barang-barang dan karung-karung sayuran, namun terlihat dari wajah mereka mereka tampak behagia bersama-sama. Melihat kebersamaan itu aku jadi teringat ibuku di rumah disaat dia tak kuasa menangis melihat ayahku menampar, memukul sambil menyeretku keluar dari rumah sampai beberapa tetangga ada yang terbangun, ya… benar, aku diusir dari rumah. Di melempar barang-barangku keluar dari pintu rumah sambil mengeluarkan kata-kata kasar seakan aku adalah seonggok sampah. Kurapihkan baju dan barang-barangku yang dia lempar kumasukan kedalam tas seadanya dan akupun pergi, kuusap darah dari hidungku, berjalan dan mencoba untuk tidak melihat kembali ke belakang.

Terbangun lagi dari kejadian lalu, kupandang jendela dan melihat dari kejauhan ternyata matahari belum menunjukan sedikit cahayanya, terdengar sayup-sayup suara adzan subuh berbaur dengan suara rel kereta, membuatku sadar bertapa jauhnya aku dari yang maha kuasa. Bingung harus kemana dan apa yang akan dilakukan, akupun pasrah menunggu pemberhentian terakhir kereta ini. Kucoba untuk menutup mataku dan bayang-bayang dari masa lalupun muncul kembali, masih terbayang di pelipis kepalaku tentang kejadian itu dan bagaimana dia memakiku sambil berteriak “jangan pernah kembali lagi ke sini dan jangan anggap kami orang tua mu!!!” dalam bahasa sunda.

Matahari sudah mulai menampakan mukanya dan akupun hanya bisa duduk sambil melihat hamparan rumput gambut yang dikelilingi pohon-pohon liar, tidak lama kemudian akupun mulai melihat bangunan-bangunan dengan cerobong asap yang tinggi. Aku sudah mulai melewati kawasan pabrik. Tiba-tiba kereta berhenti dan tak sengaja membuat kandang ayam di dekatku terjatuh dan membuat isinya berkeliaran. Akupun ikut membantu menangkap salah satunya. Kejadian ini membuatku sedikit tersenyum melihat kekonyolan yang terjadi dalam gerbong ini. Tak terasa dari balik jendela aku sudah melihat gedung-gedung kaca yang tinggi dan menjulang. Terkesima dengan bentuk dan bagaimana refleksi matahari memantul dari kaca-kaca bangunan itu membuatku taksadar ternyata akusudah sampai pada stasiun terakhir. Aku bergegas keluar dari gerbong dan mulai menginjakan kakiku pada tempat ini. Aku melihat semua orang berlalulalang dengan cepat dan akupun berkata pada diriku sendiri,”Jamil, apa yang akan kau lakukan sekarang???”.

Posse...


Selesai sudah 3 tahun kupelajari ilmu bisnis di melbourne, selesai sudah hutang budiku ke orangtuaku. Segala upaya kulakukan hanya untuk menyenangkan orang tuaku. Kedua orang tuaku menyarankan aku kuliah bisnis supaya kudapat melanjutkan bisnis keluarga yang sudah dipegang turun temurun. Tapi maaf pa,maaf ma...aku gak suka dunia itu. Itu bukan duniaku.

Ambisiku untuk menjadi fashion model sudah bulat. Hobby dan cita cita yang aku impikan dari aku kecil. Bahkan kedua orang tuaku tidak tahu kalau aku sudah terikat kontrak salah satu agency bergengsi di Melbourne. Namun..keterikatanku harus kukorbankan demi orang tuaku. sedih,marah,kesal,dan semua rasa tercampur aduk. Rasa perlawanan ingin aku lakukan,tapi aku gak tega melakukannya...

Aku Datang Dengan Mimpi...


Suasana di dalam bis ini semakin panas dan membuat nafasku sesak. Seorang ibu yang duduk desebelahku masih tertidur lelap, padahal bis sudah hampir sampai di tujuan. Ya, mulai hari ini aku akan menetap di ibukota Jakarta selama masa kuliahku. Akhirnya beasiswa yang aku impikan ini dapat kuraih. Walaupun aku hanya seorang gadis dari Desa Suka Makmur di Kota Solo, tapi aku bangga bisa meraih beasiswa untuk berkuliah di salah satu Universitas Negeri di Jakarta.

Tak lama aku mendengar suara kenek bis meneriakkan nama terminal tempat pemberhentianku. Dengan hati senang aku segera meraih tas dari atas tempat dudukku. Seorang ibu yang duduk di sebelahku tiba-tiba terbangun karena riuh rendah suara penumpang bis yang mulai berdesakan menuju pintu keluar.

Aku tiba di ujung pintu dan langsung melompat turun dari bis. Rasanya segar sekali bisa menghirup udara bebas, apalagi ini kota Jakarta. Tempat yang selama ini aku impikan. Bahkan orangtuaku di Desa sampai menjual ternak sapi kami untuk biaya hidupku selama di Jakarta, paling tidak sampai aku mendapatkan pekerjaan. Mataku menatap sekeliling terminal untuk mencari Santi, sepupuku yang juga bekerja di Jakarta sebagai penjaga toko pakaian. Seketika aku mendengar samar-samar suara wanita memanggil namaku, "Sri!". Mataku berbalik ke arah asal suara itu. "Ya, San!" teriakku begitu melihat Santi. Aku pun berlari ke arahnya.