Sasa terlihat berpikir sejenak, sebelum bertanya lagi "Kamu dari Jawa, ya?". Aku mengangguk. Sasa mengajakku berbincang smabil berjalan ke arah ruang Administrasi. Rupanya ia dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta. Rumahnya di daerah Kebayoran Baru. "Sri, nama panjang kamu siapa? Jujur ya, aku jarang sekali mendengar nama Sri di Jakarta," kata Sasa. Aku tertawa kecil sembari mengikat rambutku menjadi ekor kuda. "Namaku Sri Utami," jawabku. "Ah, bagaimana kalau aku memanggil kamu Tammy saja?" kata Sasa bersemangat. Teman baruku ini tampaknya memiliki energi yang lebih banyak dari orang lain. Karena selama kami berbincang dan berjalan, ia selalu melompat, berteriak, tertawa, bahkan sesekali memutar kepalanya saat bercerita. Aku memikirkan kata-kata Sasa barusan. Haruskah aku berubah di kota baru ini? Bahkan untuk mengubah nama panggilanku?
Haruskah Aku Berubah?
Sasa terlihat berpikir sejenak, sebelum bertanya lagi "Kamu dari Jawa, ya?". Aku mengangguk. Sasa mengajakku berbincang smabil berjalan ke arah ruang Administrasi. Rupanya ia dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta. Rumahnya di daerah Kebayoran Baru. "Sri, nama panjang kamu siapa? Jujur ya, aku jarang sekali mendengar nama Sri di Jakarta," kata Sasa. Aku tertawa kecil sembari mengikat rambutku menjadi ekor kuda. "Namaku Sri Utami," jawabku. "Ah, bagaimana kalau aku memanggil kamu Tammy saja?" kata Sasa bersemangat. Teman baruku ini tampaknya memiliki energi yang lebih banyak dari orang lain. Karena selama kami berbincang dan berjalan, ia selalu melompat, berteriak, tertawa, bahkan sesekali memutar kepalanya saat bercerita. Aku memikirkan kata-kata Sasa barusan. Haruskah aku berubah di kota baru ini? Bahkan untuk mengubah nama panggilanku?
Buta Arah, Buta Waktu dan Buta Tujuan...
Aku benar-benar tidak tahu harus naik apa menuju kesana, buta arah, buta waktu dan buta tujuan. Setelah mengikuti nasehat Pak Yatmo untuk naik kopaja kearah selatan dan berhenti beberapa blok dari sana, aku pun meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Tidak terasa matahari sudah mulai turun, andai saja aku tidak membuang hanphoneku ke luar jendela waktu di kereta, semua masalah akan cepat terselesaikan dan mungkin aku sudah sampai di rumahnya dari tadi siang. Ya, benar aku sudah hilang komunikasi dengan orangtua dan keluarga besarku, tapi apa yang bisa aku harapkan lagi, aku sudah mati bagi mereka. Aku sudah muak menjadi kambing hitam bagi mereka, anak yang tidak pernah membanggakan keluarga, anak yang selalu dianggap memberikan masalah dalam rumah padahal yang aku lakukan hanyalah berusaha untuk membuat mereka selalu bahagia. Akan tetapi di mata mereka semua itu hanyalah omong kosong. Capek… rasanya seperti berenang tanpa bisa sampai ke tepian, sampai kaupun lelah…tidak ada tenaga lagi untuk mengayuh badanmu dan mulai tenggelam terlahan, dalam dan lebih dalam lagi sampai kau tidak bisa melihat permukaan airnya lagi. Memikirkan kejadian silam selalu membuat nafasku terasa sesak, andai saja semua ini bisa berlalu seperti kita membalikan telapak tangan.
Malas bertanya, sesat di jalan… tapi yang terjadi dengan ku malah sama saja. Aku banyak bertanya dengan orang-orang sekitar tidak membuatku sampai pada tujuan. Bertanya malah membuatku makin tersesat, yang satu menyuruhku untuk berjalan ke arah ini dan yang satu lagi menyuruhku balik ke arah yang berlawanan. Cukup bertanya pada orang-orang, akupun akhirnya hanya mengandalkan insting dan naluriku dalam mencari tempat itu. Mengikuti petunjuk jalan adalah cara yang terbaik, nampaknya aku sudah mulai dekat dengan tempat yang kucari. Rumahnya sepertinya ada di sebrang jalan ini, akupun menoleh kekanan dan kekiri memastikan tidak ada mobil yang lewat. Menyebrang dengan pandangan lurus kedepan dan tiba-tiba dari arah kanan ada mobil hitam yang melaju dengan kencang dan hampir menerempetku. Karena kaget aku menepuk kap mobil itu, ternyata pada saat kaca jendelanya turun yang menyetir mobil itu seorang wanita cantik berkacamata hitam. Emosiku pun meluap karena tanpa meminta maaf dia melaju kembali dengan kencang. Dalam sehari dua kali aku mengalami kejadian sial. Tanpa aku sadari ternyata rumah Tom ada di depanku, ku tekan tombol bel yang ada dipagar. Apakah dia ada di rumah?
Haruskah Ku Kembali?...
Begitu tiba di lokasi, semua mata memandangku. Memang ini kesalahanku..akibat pergaulan semalam aku lupa waktu, lupa semuanya. Begitu selesai pemotretan, agency tempat selama ini aku terikat kontrak kerja memanggilku dan mereka memberikan kesempatan terakhir padaku untuk bekerja sama dengan mereka. Ini kesalahanku untuk kesekian kalinya. "You're not professional,flo! We'll stop our agreement if you still not in discipline!"
Kumelangkah tertunduk melihat langkahku,...tampaknya tempatku bekerja selama ini mulai tidak mempercayaiku. Ini semua berasal dari kesalahanku. Kuberhenti melangkah, berdiri termenung di tepi jalan. Aku tidak seperti dulu...mobil dan barang2 kesayanganku sudah kujual..bahkan karir modellingku mulai hancur. Semua hancur berantakan dari kesalahanku..aku tidak mengikuti kemauan orangtuaku untuk kembali ke jakarta dan menikah dengan pengusaha muda yang akan membangkitkan kembali usaha keluargaku. Haruskah aku pulang?
Awal Pertemuan Dengan Rony...
Santi membuka pintu kamarnya yang berwarna putih kusam, ia melepas sepatunya sebelum masuk kedalam kamar. Aku mengikutinya masuk, dan langsung tercium olehku aroma minyak wangi murahan yang digunakan Santi sebelum pergi. Rupanya ia menggunakan minyak wangi di sekujur tubuhnya hingga aromanya masih melekat didalam kamar. "Nanti malam kamu tidur di kasur saja Sri, biar aku yang tidur di tikar," Santi menawarkan. Aku merasa tidak enak dan langsung mengambil tikar dan kugelar di bawah kasur. "Tidak San, aku biasa tidur di tikar. Kamu tahu kan adikku Atik tidak pernah mau tidur di lantai, jadi aku yang selalu mengalah," kataku. Santi tertawa kecil sambil menyerahkan handuk padaku. "Kalau mau mandi, kamar mandinya disebelah ya Sri. Aku mau ke warung di depan jalan dulu, mau ketemu sama Rudi pacarku," kata Santi malu-malu. Aku mengambil handuk hijau yang disodorkan Santi. Aku tidak tahu kalau Santi sudah punya pacar.
Setelah mengikat rambutnya, ia lantas pergi keluar kamar dan meninggalkanku sendirian. Aku membuka tas dan menyiapkan semua keperluanku untuk dibawa ke kampus besok pagi. Aku tidak mau ada yang tertinggal. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera menginjakkan kakiku di kampus dan kuliah bersama teman-teman baru. Aku mengeluarkan map merah berisi ijasah SMA ku. Tiba-tiba seorang pria muncul di depan pintu kamar Santi yang tidak tertutup. "Maaf Mbak ini siapa ya?" tanya pria itu sopan. Aku melangkah ke pintu dan mengulurkan tangan, "Aku Sri, sepupunya Santi". Pria itu balas mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya bernama Rony. Ia adalah anak pemilik kost ini. Rupanya perkiraanku salah. Kami mengobrol beberapa lama, dari situ aku tahu bahwa ia masih kuliah semester tiga dan kampusnya tidak terlalu jauh dari kampusku. Itulah awal pertemuanku dengan Rony.
Berdiri Dengan Kedua Kakiku...
Kulihat bangku kosong dekat kotak tiket. Aku duduk untuk sedikit menghela nafas. Masih pagi tapi antrian tiket tetap saja panjang, melihat orang bergumal karena lamanya antrian sedikit membuatku lega, entah kenapa tapi itu membuatku berfikir, setidaknya aku sekarang tidak diburu oleh waktu. Aku tidak mau menjadi orang yang hanya duduk termenung menerima nasibnya yang tak kunjung berubah. Kubuka isi dompetku dan kuhitung uang yang ada di dalamnya, hanya cukup untuk bertahan sampai akhir minggu ini. Tak sengaja dari setumpuk lembaran bukti tanda pembayaran supermarket, terjatuh secarik kertas yang sudah lama ada dalam dompetku. Kubuka lipatan kertas tersebut, tertera nama sahabat kuliahku dan alamat rumahnya di Jakarta. Mengingat kembali masa-masa kuliah, sangat menyenangkan, dimana aku bisa berdiskusi tentang banyak hal dan bermimpi untuk bisa merubah dunia. Aku memang naïf pada saat itu, tengelam dalam idealisme dan optimisme. Namanya Tommy tapi aku selalu memanggilnya T.O.M. kami memang dekat semasa kuilah dulu, semua suka dan duka kita lalui bersama dan kami satu tim dalam berbagai kegiatan, mulai dari BEM sampai Futsal. Pada saat dia wisuda dia memberikan kertas ini padaku, “ kalo kamu main ke Jakarta jangan lupa mampir kerumahku…!”ujarnya. dia lulus lebih dulu daripadaku. Maklum aku harus cuti kuliah karena orangtuaku tidak bisa membiayai lagi pada saat itu. Rumahnya di daerah Blok M. Bangun dari bangku tempatku duduk kucoba bertanya pada petugas kereta api bagaimana cara pergi ke tempat itu dan akupu dibertahu untuk naik busway karena akan membuatku lebih mudah sampai kesana.
Kukeluarkan uang 3500 rupiah dari dalam kantung celana akupun bergegas masuk kedalam bus setelah setengah jam menunggu. Aku duduk di bangku belakang dekat pintu keluar berselang dua pemberhentian bus pun mulai penuh dan padat. Kulihat didepanku seorang ibu muda dengan seorang bayi mungil didadanya, akupun berdiri dan mempersilahnkannya untuk mengambil tempat dudukku, dia tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Dengan tangan kanan menggantung memegang tiang besi dan kepalaku bersandar pada jendela kaca, aku mulai melihat kendaraan merayap dengan perlahan. Jadi ini macet yang terkenal di ibukota. Mataku sesekali tertidur dan tidak terasa aku sudah sampai di daerah blok M plaza. Aku mulai berjalan dan menaikui jembatan penyebrangan untuk bisa menuju ke sisi yang lain. Kepalaku tertunduk kebawah melihat perutku yang terasa lapar, sambil melihat tali sepatu yang copot aku terjongkok untuk mengikat kembali tali sepatu itu. Sambil menahan lapar aku coba menggabungkan kedua tali yang terlepas tiba-tiba ada seseorang yang menyadung punggungku terasa sakit tapi aku rasa lapar membuatku hanya terdiam dan melanjutkan perjalanan tanpa menghiraukan apa yang terjadi tadi. Aku hanya melangkah dengan muka yang sedikit pucat, pandanganku mulai kabur dan perlahan-lahan pandanganku mulai gelap. Apa yang terjadi dengan kepalaku..?
Ini Bukan Jaman Siti Nurbaya...
Mama dan papa berharap aku bisa membantu mereka. Tapi aku gak bisa mengabulkannya. Bisnis papa yang mulai ambruk itu membutuhkan kucuran dana yang tidak sedikit. Namun ada seorang pengusaha muda yang bersedia membantu papa asalkan aku bersedia menjadi istrinya.
Pikiranku kacau,hidupku belakangan ini juga mulai akrab dengan minuman beralkohol dan rokok.Kedekatanku dengan dunia malam belakangan ini membuat hidupku mulai tidak dsiplin.Bangun tidur sesukaku dan itu yang membuatku lebih hancur lagi. Aku sering datang ke pemotretan tidak tepat waktu dan mukaku tampak tidak enak untuk difoto.Beberapa kali aku mendapat surat teguran dari agencyku. Uang yang kumiliki semakin hari semakin menipis, selain karena ambruknya usaha papa, uangku habis untuk kesenanganku sendiri. Hari ini, aku harus merelakan porsche merahku pindah ke tangan orang lain. Ya! Aku jual mobil pemberian papaku sewaktu pertama kali aku tiba di melbourne. Kujual mobil itu tanpa sepengetahuan keluargaku.
Selamat Datang di Jakarta...
Mataku tak berhenti menatap hiruk pikuk di jalanan kota Jakarta. Saat ini aku dan Santi tengah berada di dalam bis kota jurusan Lebak Bulus - Blok M, yang akan membawa kami ke kost-an tempat tinggal Santi di daerah Blok M. Santi yang lebih tua dua tahun dariku sudah lebih dulu mengadu nasib di Jakarta. “Gimana kabar keluarga di Solo, Sri?” tanya Santi membuyarkan lamunanku. “Baik-baik saja San,” jawabku. “Apa kamu sudah punya rencana tempat tinggal disini?” tanyanya lagi. Aku menggeleng sambil membetulkan kunciran ekor kudaku. “Aku numpang tinggal di tempat kamu satu malam saja San, besok pagi aku langsung ke kampus, mengurus semua administrasinya. Dari sana aku langsung mencari tempat kost yang dekat dengan kampus,” jawabku kemudian. Raut wajah Santi berubah, ia tidak lagi tersenyum. “Kenapa San?” tanyaku. “Kamu beruntung Sri, bisa melanjutkan kuliah sesuai dengan impianmu,” kata Santi muram. Aku memeluk pundaknya. “Tidak seberuntung itu San. Kamu tidak ingat, kejadian yang menimpaku dua tahun lalu? Itulah sebabnya kenapa aku bertekad untuk berkuliah di Jakarta, agar aku bisa jauh dari Mas Yon,” kini wajahku yang berubah muram, mengenang kejadian lalu yang sangat membekas di kepalaku. “Sri, maaf aku membuat kamu teringat lagi masa itu,” Santi merasa bersalah.
Semasa aku duduk di bangku SMA, aku sudah diharuskan untuk bekerja membantu perekonomian keluarga, karena waktu itu panen jagung kami sedang merosot. Setiap hari sepulang sekolah, aku bekerja di pabrik kertas milik seorang duda berusia 40 tahun. Dialah Mas Yon, pria yang telah membuat hidupku berubah. Sejak saat itu, aku mulai bertekad untuk pergi jauh dari kota Solo dan mulai membangkitkan impian-impianku. Aku mulai belajar giat agar bisa mendapatkan beasiswa kuliah di Jakarta. Aku juga sudah bercita-cita suatu saat nanti aku akan membawa kedua orangtuaku pindah dari desa kami, agar tidak diganggu oleh para lintah darat itu.
Tidak terasa bis kota yang aku tumpangi sudah tiba di terminal Blok M. Aku mengikuti Santi berjalan menuju tempat kost nya. Kami harus melewati jembatan penyeberangan untuk menuju kesana. Dengan menjinjing tas besar di tangan kanan aku berusaha mengimbangi langkah Santi yang cepat. Tak sengaja aku menabrak seorang pria yang sedang mengikat tali sepatunya di tengah jembatan. “Eh, maaf Mas,” kataku seraya mengambil tasku yang jatuh ketika menabraknya tadi. Pria itu hanya menatapku dengan wajah datar dan berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata. Oh, jadi begini tingkah laku orang Jakarta? Pikirku dalam hati. Tapi aku senang sudah tiba di kota ini. Selamat datang di Jakarta, Sri!
Jangan Lihat ke Belakang...
Terbangun lagi dari kejadian lalu, kupandang jendela dan melihat dari kejauhan ternyata matahari belum menunjukan sedikit cahayanya, terdengar sayup-sayup suara adzan subuh berbaur dengan suara rel kereta, membuatku sadar bertapa jauhnya aku dari yang maha kuasa. Bingung harus kemana dan apa yang akan dilakukan, akupun pasrah menunggu pemberhentian terakhir kereta ini. Kucoba untuk menutup mataku dan bayang-bayang dari masa lalupun muncul kembali, masih terbayang di pelipis kepalaku tentang kejadian itu dan bagaimana dia memakiku sambil berteriak “jangan pernah kembali lagi ke sini dan jangan anggap kami orang tua mu!!!” dalam bahasa sunda.
Matahari sudah mulai menampakan mukanya dan akupun hanya bisa duduk sambil melihat hamparan rumput gambut yang dikelilingi pohon-pohon liar, tidak lama kemudian akupun mulai melihat bangunan-bangunan dengan cerobong asap yang tinggi. Aku sudah mulai melewati kawasan pabrik. Tiba-tiba kereta berhenti dan tak sengaja membuat kandang ayam di dekatku terjatuh dan membuat isinya berkeliaran. Akupun ikut membantu menangkap salah satunya. Kejadian ini membuatku sedikit tersenyum melihat kekonyolan yang terjadi dalam gerbong ini. Tak terasa dari balik jendela aku sudah melihat gedung-gedung kaca yang tinggi dan menjulang. Terkesima dengan bentuk dan bagaimana refleksi matahari memantul dari kaca-kaca bangunan itu membuatku taksadar ternyata akusudah sampai pada stasiun terakhir. Aku bergegas keluar dari gerbong dan mulai menginjakan kakiku pada tempat ini. Aku melihat semua orang berlalulalang dengan cepat dan akupun berkata pada diriku sendiri,”Jamil, apa yang akan kau lakukan sekarang???”.
Posse...
Ambisiku untuk menjadi fashion model sudah bulat. Hobby dan cita cita yang aku impikan dari aku kecil. Bahkan kedua orang tuaku tidak tahu kalau aku sudah terikat kontrak salah satu agency bergengsi di Melbourne. Namun..keterikatanku harus kukorbankan demi orang tuaku. sedih,marah,kesal,dan semua rasa tercampur aduk. Rasa perlawanan ingin aku lakukan,tapi aku gak tega melakukannya...
Aku Datang Dengan Mimpi...
Tak lama aku mendengar suara kenek bis meneriakkan nama terminal tempat pemberhentianku. Dengan hati senang aku segera meraih tas dari atas tempat dudukku. Seorang ibu yang duduk di sebelahku tiba-tiba terbangun karena riuh rendah suara penumpang bis yang mulai berdesakan menuju pintu keluar.
Aku tiba di ujung pintu dan langsung melompat turun dari bis. Rasanya segar sekali bisa menghirup udara bebas, apalagi ini kota Jakarta. Tempat yang selama ini aku impikan. Bahkan orangtuaku di Desa sampai menjual ternak sapi kami untuk biaya hidupku selama di Jakarta, paling tidak sampai aku mendapatkan pekerjaan. Mataku menatap sekeliling terminal untuk mencari Santi, sepupuku yang juga bekerja di Jakarta sebagai penjaga toko pakaian. Seketika aku mendengar samar-samar suara wanita memanggil namaku, "Sri!". Mataku berbalik ke arah asal suara itu. "Ya, San!" teriakku begitu melihat Santi. Aku pun berlari ke arahnya.