Haruskah Aku Berubah?


Hari pertama menjejakkan kaki di kampus baruku, rasanya tak percaya aku bisa sampai disini. Kampus ini memilik lahan yang begitu luasnya, bahkan jauh lebih luas dari lahan sawah milik Pak Joyo, pengusaha kaya di kampungku. Rony yang mengantarku sampai di depan pintu gerbang kampus, dan sekarang ia sudah melaju dengan motor bebeknya ke kampusnya yang tak jauh dari sini. Aku menghirup nafas panjang-panjang, hingga seseorang menabrakku dari belakang. "Ups, maaf. Aku nggak sengaja," kata seorang gadis yang menabrakku. Wajahnya manis, dengan rambut panjang yang sangat indah. Ia membawa tas di bahunya, dan map di tangannya. "Iya, aku nggak apa-apa," kataku. Gadis itu menyodorkan tangannya untuk berkenalan. "Aku Sasa. Mahasiswi baru disini. Kamu siapa" tanya gadis bernama Sasa itu. "Aku Sri," jawabku.

Sasa terlihat berpikir sejenak, sebelum bertanya lagi "Kamu dari Jawa, ya?". Aku mengangguk.
Sasa mengajakku berbincang smabil berjalan ke arah ruang Administrasi. Rupanya ia dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta. Rumahnya di daerah Kebayoran Baru. "Sri, nama panjang kamu siapa? Jujur ya, aku jarang sekali mendengar nama Sri di Jakarta," kata Sasa. Aku tertawa kecil sembari mengikat rambutku menjadi ekor kuda. "Namaku Sri Utami," jawabku. "Ah, bagaimana kalau aku memanggil kamu Tammy saja?" kata Sasa bersemangat. Teman baruku ini tampaknya memiliki energi yang lebih banyak dari orang lain. Karena selama kami berbincang dan berjalan, ia selalu melompat, berteriak, tertawa, bahkan sesekali memutar kepalanya saat bercerita. Aku memikirkan kata-kata Sasa barusan. Haruskah aku berubah di kota baru ini? Bahkan untuk mengubah nama panggilanku?

No comments:

Post a Comment