Selamat Datang di Jakarta...


Mataku tak berhenti menatap hiruk pikuk di jalanan kota Jakarta. Saat ini aku dan Santi tengah berada di dalam bis kota jurusan Lebak Bulus - Blok M, yang akan membawa kami ke kost-an tempat tinggal Santi di daerah Blok M. Santi yang lebih tua dua tahun dariku sudah lebih dulu mengadu nasib di Jakarta. “Gimana kabar keluarga di Solo, Sri?” tanya Santi membuyarkan lamunanku. “Baik-baik saja San,” jawabku. “Apa kamu sudah punya rencana tempat tinggal disini?” tanyanya lagi. Aku menggeleng sambil membetulkan kunciran ekor kudaku. “Aku numpang tinggal di tempat kamu satu malam saja San, besok pagi aku langsung ke kampus, mengurus semua administrasinya. Dari sana aku langsung mencari tempat kost yang dekat dengan kampus,” jawabku kemudian. Raut wajah Santi berubah, ia tidak lagi tersenyum. “Kenapa San?” tanyaku. “Kamu beruntung Sri, bisa melanjutkan kuliah sesuai dengan impianmu,” kata Santi muram. Aku memeluk pundaknya. “Tidak seberuntung itu San. Kamu tidak ingat, kejadian yang menimpaku dua tahun lalu? Itulah sebabnya kenapa aku bertekad untuk berkuliah di Jakarta, agar aku bisa jauh dari Mas Yon,” kini wajahku yang berubah muram, mengenang kejadian lalu yang sangat membekas di kepalaku. “Sri, maaf aku membuat kamu teringat lagi masa itu,” Santi merasa bersalah.


Semasa aku duduk di bangku SMA, aku sudah diharuskan untuk bekerja membantu perekonomian keluarga, karena waktu itu panen jagung kami sedang merosot. Setiap hari sepulang sekolah, aku bekerja di pabrik kertas milik seorang duda berusia 40 tahun. Dialah Mas Yon, pria yang telah membuat hidupku berubah. Sejak saat itu, aku mulai bertekad untuk pergi jauh dari kota Solo dan mulai membangkitkan impian-impianku. Aku mulai belajar giat agar bisa mendapatkan beasiswa kuliah di Jakarta. Aku juga sudah bercita-cita suatu saat nanti aku akan membawa kedua orangtuaku pindah dari desa kami, agar tidak diganggu oleh para lintah darat itu.


Tidak terasa bis kota yang aku tumpangi sudah tiba di terminal Blok M. Aku mengikuti Santi berjalan menuju tempat kost nya. Kami harus melewati jembatan penyeberangan untuk menuju kesana. Dengan menjinjing tas besar di tangan kanan aku berusaha mengimbangi langkah Santi yang cepat. Tak sengaja aku menabrak seorang pria yang sedang mengikat tali sepatunya di tengah jembatan. “Eh, maaf Mas,” kataku seraya mengambil tasku yang jatuh ketika menabraknya tadi. Pria itu hanya menatapku dengan wajah datar dan berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata. Oh, jadi begini tingkah laku orang Jakarta? Pikirku dalam hati. Tapi aku senang sudah tiba di kota ini. Selamat datang di Jakarta, Sri!

No comments:

Post a Comment